Selasa, 07 Juli 2020

Jiwa Nestapa

"HATCHI!"
Sekilas, beberapa partikel debu membentuk kabut tipis, lalu membaur dengan udara. Kembali mengusik hidung, menggelitik dan lagi-lagi menimbulkan rasa ingin bersin. Tapi tak jadi. Sebuah buku usang teronggok di atas lemari, berselimutkan debu dan sarang laba-laba yang ditinggal pemiliknya.

Perlahan, buku itu kutarik dan menyisakan bekas yang tak terjamah debu. Bersamaan dengan jatuhnya selembar foto yang mulai pudar. Sepasang mataku mulai memerah karena terkena debu saat mengamati selembar foto itu.

"Ini.. bunda, kan?" aku menoleh pada Tia. Ia mengangguk pelan. Aku menelusuri wajah teduh itu. Cantik yang menenangkan.

"Bunda sayang banget sama kamu, Nada," ujar Tia lirih, suaranya nyaris terbawa angin.
Aku mengangguk. "Bilangin, aku juga sayang banget sama bunda,". Aku terkekeh kecil.

"Bilangin juga, ayah sudah nggak mukulin aku lagi. Aku baik-baik aja disini sama kamu."
Tia menatapku sendu. Aku membalasnya dengan senyum pedih.

"Andai aja, aku bisa ketemu bunda," anganku melayang, membayangkan bunda memelukku erat, mengusap kepalaku lembut. Ah, hanya angan semata.

Sesuatu membawa kakiku melangkah keluar dari ruangan itu. Aku menghempaskan diriku di sofa, kembali termenung memperhatikan foto bunda. Tanpa terasa, air mataku meleleh. Sibuk memikirkan hidupku yang amat pilu.

Ditinggal bunda sejak aku baru saja melihat dunia, kemudian harus hidup berdua dengan ayah yang sangat temperamental. Salah sedikit, tangan kekar itu akan langsung melayang ke pipiku. Tak puas juga, kadang mencubit tanganku hingga membiru. Atau menyabetku dengan ikat pinggangnya yang terbuat dari kulit. Ya, begitulah aku hidup selama bertahun-tahun.

Hingga akhirnya, aku bertemu dengan Tia. Ia selalu menenangkanku saat aku menangis. Memelukku hangat, layaknya seorang kakak. Dia jualah yang terus-menerus menguatkanku untuk tetap bertahan.
Bahkan sampai ayah pergi menyusul bunda. Aku kehilangan sosok orang tua satu-satunya, walaupun ia selalu menyakitiku. Bahkan untuk alasan yang tidak kumengerti.

DOK! DOK! DOK!

"Dia disini!"

Keningku mengernyit. Orang-orang itu lagi. Sebenarnya, apa sih, mau mereka?
"Mereka lagi," Tia menatap tajam ke arah pintu.

"Apa kita harus lari lagi?" tanyaku padanya. Ia mengangguk.

"Harus. Kalau tidak, mereka akan memasukkanmu ke ruangan menakutkan itu lagi. Dipaksa minum obat setiap hari. Kau mau?" tanyanya. Aku menggeleng cepat.

"Kalau begitu, ayo!" ia menarik tanganku. Aku bangkit, mengikutinya keluar dari pintu belakang. Sementara orang-orang itu masih berteriak-teriak penuh amarah di depan.

Aku menyelinap di antara pepohonan, lalu kembali berlari saat mereka tak melihat.
"Hei! Itu dia!" teriak seseorang. Sial, mereka akan mengejarku lagi.

"Nada, ayo! Lari lebih kencang!" Tia menyemangatiku. Aku menurutinya. Sementara dibelakangku, orang-orang itu mulai mengejarku.

"Tangkap perempuan tidak waras itu!" terdengar lagi teriakan salah satu dari mereka.

Arkh, kini aku berada di pinggir jalan besar yang ramai. Mereka masih terus bergerak. Aku mencari celah secepat mungkin. Tia menarik tanganku, menerobos keramaian. Aku mempercepat langkahku. Tanpa ku sadari, sebuah truk melaju dengan kecepatan tinggi ke arahku.

CKIITT! BRAKK!

Dapat ku dengar suara jeritan orang-orang dan suara klakson yang saling bersahutan, sebelum akhirnya aku terkapar. Sebuah mobil menabrakku. Tia terlepas dari genggamanku.
Gelap. Hanya itu yang kulihat.

Mereka mengerumuniku.

"Dia sudah mati."
"Kasihan, bawalah bonekanya kemari. Siapa nama bonekanya?"
"Tia. Kita kuburkan saja bersamanya."

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kau Perlu Terjatuh

Dalam hidupmu, kau pasti pernah terjatuh; setidaknya sekali. Kau dijatuhkan? Atau terjatuh seorang diri? Sama saja. Intinya, kau pernah jatu...