Minggu, 12 Juli 2020

Kau Perlu Terjatuh

Dalam hidupmu, kau pasti pernah terjatuh; setidaknya sekali. Kau dijatuhkan? Atau terjatuh seorang diri? Sama saja. Intinya, kau pernah jatuh.

Entah kau ada di posisi yang mana; biasa di atas, atau biasa di bawah. Tak apa. Biar kuceritakan sedikit.

Kalau kau adalah orang yang biasa berada di atas, selamat! Kau adalah orang terpilih. Tidak semua orang bisa berada di posisi yang saat ini kau tempati. Kau adalah seseorang yang menginspirasi orang lain, dengan prestasimu tentunya. Mereka pun berharap agar suatu saat nanti bisa merasakan berada di posisimu saat ini.

Karena kau di atas, sangat mungkin suatu waktu kau akan terjatuh; menyaksikan orang lain mengisi posisimu sebelumnya. Tak apa, itu wajar. Kau sudah merasakan, bukan, berada di atas sana? Sekarang biarkan orang lain merasakannya. Kau bisa memulainya lagi dari bawah. Itu tidak buruk! Kau bisa merasakan bagaimana rasanya menjadi mereka yang mengharapkan berada di posisimu. Jadi, nanti bila kau kembali ke atas sana, kau ingat bagaimana rasanya di bawah dan tidak akan menatap rendah orang-orang di bawah sana.

Tetapi, bila kau adalah orang yang biasa berada di bawah, selamat! Kau pun tak kalah hebatnya; kau juga mungkin menginspirasi seseorang dengan perjuanganmu. Kau tidak akan menyia-nyiakan kesempatan untuk naik walau hanya selangkah. Kau biasa terjatuh? Percayalah, kau sedang diberi kesempatan agar lebih kuat dari sebelumnya.

Karena kau berada di bawah, kau tahu bagaimana beratnya perjuangan untuk naik, bagaimana menghargai setiap langkah yang kau lalui, dan mungkin kau akan mengulurkan tanganmu kepada seseorang yang akan kau ajak naik bersama. Kau juga tak akan menjatuhkan mereka yang berada di atas, karena kau tahu; berada di bawah sana sungguh berat.

Kau, adalah penentu di posisi mana kau berada. Sang Pemilik Dunia sudah menyediakan tempat untuk kau tempati, tapi apakah kau mau melangkah? Atau bahkan kau tak akan melangkah karena takut terjatuh lagi?

Kita semua perlu jatuh, agar tau bagaimana caranya menghargai setiap langkah kita untuk naik, dan bagaimana caranya agar tidak menjatuhkan orang lain. Kau pasti sudah tahu mengapa, kan?

Dirimu saat ini, di manapun kau sedang berada, jangan lupakan mereka yang membantumu untuk naik, juga mereka yang mengajakmu untuk naik. Dan jangan lupa pula berterima kasih pada Sang Pemilik Dunia karena telah memberikanmu kekuatan untuk kembali bangkit dan naik.

Baiklah, terakhir, kuucapkan selamat untukmu yang pernah terjatuh dan berhasil bangkit, dan semangat untukmu yang sedang berusaha untuk bangkit.

Jatuhnya dirimu, tidak akan membuat hancur kekuatanmu.

Juli 2020
Finya Rainie

Selasa, 07 Juli 2020

Simalakama

Ibu jariku perlahan menggeser layar yang lebarnya tak seberapa itu. Mataku memilah dengan teliti baris demi baris nama yang tercantum dalam daftar siswa yang berhak memilih perguruan tinggi negeri idamannya dengan modal angka yang memadai. Namun, sampai baris terakhir pun, tak juga aku menemukan namaku terselip di antara deretan nama-nama beruntung itu. Hah..aku menghela napas. Agak sulit rupanya untuk menerima kenyataan. Baiklah, kalau begitu aku harus bersiap-siap untuk mengikuti jalur selanjutnya-jika memang berminat-demi keinginanku untuk menuntut ilmu di kampus terpandang itu.

"Ren!" Sebuah suara agak melengking bervolume lumayan tinggi tepat di depan telingaku membuat sarafku mengantarkan sinyal langsung ke sumsum tulang belakang dan menghasilkan gerak spontan. Pemilik suara itu tertawa lepas tanpa rasa bersalah.

"Gimana? Masuk, nggak" tanyanya sembari mengangkat alis. Aku hanya membalasnya dengan mengangkat bahu. Gadis semampai berjilbab terulur dengan bros biru kecil itu mengambil tempat di sebelahku.

"Aku juga nggak. Santai aja, banyak jalan menuju Roma, kok," ucapnya, terdengar lebih seperti menyemangati dirinya sendiri. Aku hanya mengangguk-angguk. Naya, nama pemilik senyuman semahal mutiara itu. Tiga bulan lebih muda dariku, bermata tajam, dan sangat senang membuatku mengerutkan dahi karena harus memahami maksud dari perkataannya. Tak apa. Toh, dengan begitu, aku bisa melihatnya tertawa renyah, serenyah crepes cokelat kesukaanku.

"Eh, Ren. Kamu jadi tuh, mau masuk di sana?" ia menyebut perguruan tinggi idamanku dengan mimik wajah serius. "Ya, insya Allah," jawabku singkat. "Kenapa? Kamu mau ke situ juga?" tanyaku balik. Dia memutar bola matanya.

"Mm.. rahasia, lah! Kepo amat, sih," jawabnya. "Ya..siapa tahu?" godaku. Ia hanya mencibir, lalu kembali berdiri dan menghampiri sobat karibnya. Sementara aku berpikir keras. Naya terkadang hanya menanyakan hal-hal yang menurutnya penting baginya. Jadi, aku menyimpulkan ada sesuatu antara Naya dan perguruan tinggi idamanku. Dasar, Naya.

"Denger-denger, daya tampung di jurusan yang kamu mau nggak sampai 30 orang ya, Ren?" Naya muncul tiba-tiba ketika aku sedang berkutat dengan buku setebal kamus usai salat zuhur. Aku menatapnya, kemudian menaikkan kacamataku yang terturun.

"Tahu dari mana?" tanyaku singkat. Naya mengintip kover buku yang sedang kubaca. "Denger-denger aja," ujarnya. "Yaudahlah. Semangat melanjutkan perjuangan. Aku mau isi perut dulu," pamitnya. "Mau air putih atau air mineral?" tawarnya tanpa basa-basi. Aku terkekeh. "Nggak beda kali, Nay," protesku.
"Beda. Air mineral itu yang ada.. Eh, Fa! Tungguin!" ia langsung melesat, menyusul Efa yang sudah melenggang ke depan pintu.
"Tunggu, ya!" serunya.
Ujung bibirku tertarik sedikit ke atas. Naya selalu punya cara tersendiri untuk membuat orang di sekitarnya tersenyum.

---

Sejak H-10 pelaksanaan ujian, aku semakin jarang bertemu Naya. Ia melewati hari pertama Ujian Nasional dengan sumringah. Aku tahu, pasti karena mata pelajaran favoritnya. Sementara di hari-hari selanjutnya, ia hanya mengangkat alis ketika kami berpapasan di koridor.

Senyumnya baru terlihat lagi setelah selesai pelaksanaan Ujian Nasional. Aku baru akan bertanya 'kenapa?' ketika ia buru-buru menghampiri ojek daring pesanannya. Ia berjanji akan bercerita setelah kami menyelesaikan ujian masuk perguruan tinggi ini. Membuatku menerka-nerka tentang apa yang kira-kira akan dikatakannya. Mungkin, dia juga akan menuju perguruan tinggi yang kupilih?

'Habis ujian, ketemu di pintu masuk, ya!' pesannya lewat whatsup tepat sebelum aku berangkat menuju tempat pelaksanaan ujian. Kebetulan, tempat ujian kami sama.

Sebuah kebetulan yang sangat manis.

Nyaris saja konsentrasiku buyar saat mengerjakan soal gara-gara hal itu.


Tepat setelah selesai dan mengucap syukur, aku menunggu Naya di tempat yang disebutnya. Ada banyak orang berlalu-lalang, sehingga agak sulit untuk menemukan Naya diantara orang-orang itu.

Lima menit kemudian, Naya muncul dengan jilbab berwarna cokelat muda. Raut wajahnya seketika berubah ketika melihatku. Jilbab itu, yang pernah dikenakannya saat kami berlibur bersama anak-anak kelas ke puncak kota. Saat itu Naya hampir terjatuh karena terinjak roknya sendiri. Untungnya, dia berhasil berpegangan pada lenganku. Walaupun hanya beberapa detik dan setelahnya ia panik dan berkali-kali memohon maaf padaku. Lucu sekali.

"Ren!" Naya mengibaskan tangannya di depan wajahku. "Bengong aja. Gimana, tadi?" tanyanya.

"Alhamdulillah, seenggaknya yakin 60% lah," jawabku terkikik. "Kamu?" tanyaku balik.

"Yaa..kurang lebih sama," ujarnya. "Kepalaku pusing sebelah lihat angka banyak," ia memukul-mukul kepalanya pelan.

" Jadi.. kamu mau ngomong soal apa?" aku memulai dengan dada berdebar.
"Em.. anu, Ren. Kamu tahu, nggak, Riko anak kelas sebelah?" tanyanya dengan suara kecil.
Perasaanku tiba-tiba tidak enak.

"Kenapa dia?" tanyaku dengan suara yang tak kalah kecil.

"Dia kemaren bilang sama aku, mau masuk di jurusan yang kamu juga mau masuk itu, loh!" kata Naya lagi. Aku mengerutkan dahi.

"Ya, terus?" tanyaku lagi. "Ya, eh gimana ya, Ren? Kan dia kemaren sempet bilang juga, kalo ternyata dia tuh.. juga.. ada rasa gitu kan.." suara Naya semakin kecil. 

"Hah? Apa Nay? Siapa?" aku meminta kejelasan.

"Ih, kamu ini. Dia tuh ternyata juga ada rasa.. sama.. aku.. Nah jadi.. "

Deg! Empat kata itu terngiang-ngiang di telingaku. Pandanganku kabur, sekitarku tiba-tiba menjadi senyap. Hanya empat kata itu yang berputar-putar di benakku. Naya..?

"..ya, Ren, ya? Kan aku mau kuliah di sini aja tuh, jadi kan kamu yang bakal sering ketemu sama dia.. ya? Ya? Pliss Ren.." Naya masih melanjutkan kalimatnya. Sementara otakku masih mencerna kata-kata Naya. Apalagi ini? Aku disuruhnya untuk memantau si Riko-riko itu? Sekarang di benakku hanya ada tiga kata yang berputar-putar; Naya, Riko, rasa.

"Ren!" Naya mengibaskan tangannya kembali di depan wajahku. "E..eh apa sih N-Nay?" aku membuang pandanganku nun jauh ke sana. Entah kemana.

"Aih, Ren..masa kau gitu sama sahabatmu sendiri?" Naya mengikuti arah pandanganku. "Kamu lihat apa, sih? Ayolah.."

Nay, ayolah.. Apa, sih? Aku menggeleng tegas. Kulangkahkan kakiku menjauh dari Naya.

"Ren!" Naya bersikeras menyejajarkan langkahnya. "Aku sudah pernah loh, cerita Riko ke kamu," ujarnya lagi.

Cerita? Bahkan Naya hanya menunjukkan akun media sosial orang itu, menyebut ekskulnya, lalu kembali tenggelam dengan ponselnya.

"Nay.." aku menghela napas. Entah harus bagaimana lagi aku bereaksi. Entah apa yang akan dia katakan.

'Aku suka sama kamu, Nay!'

Sayangnya, itu hanyalah bayanganku semata. Naya masih menunggu kata-kata yang akan ku ucapkan.

"Kalau sempat ya, Nay.."

Astaga.

Dan Naya, mengangguk dengan riangnya. Meninggalkan luka menganga yang dia buat, entah sampai kapan lamanya.

Hadiah

Kotak berbalut kertas kado berwarna biru itu tergeletak di atas mejaku. Tanpa nama, tanpa tujuan penerima. Tak mau ambil pusing, aku menggesernya ke meja Lala, teman sebangkuku. Dia tidak masuk hari ini.

"Apaan tuh, Ra?" ujar seseorang tepat di belakang telingaku. Aku bergidik, geli. Satu-satunya orang yang begitu hanya Ari. Orang ter-menyebalkan yang pernah kutemui dalam hidupku.

"Tau, tuh," jawabku singkat, padat, dan tidak jelas. Ari menjulurkan tangannya meraih kotak kado itu. Kemudian ia berpindah posisi ke depan mejaku, menghadap kepadaku. Diguncangnya kotak kado berukuran sedang itu.

"Punya siapa, sih?" tanyanya lagi. Aku mengangkat bahu.

"Buatmu kali," ujarnya lagi sambil menimang-nimang kotak itu. Aku beranjak, malas menanggapi. Ari memang sahabat yang perhatian, tapi lebih sering menyebalkan. Jika aku mulai merajuk, dia akan minta maaf sambil cengengesan, berdalih melatih kesabaranku. Manusia yang unik.

"Kemana, Ra?" tanyanya. Aku menunjuk ke arah luar. Lapar.

Setelah mengisi perut dengan seporsi mihun kesukaanku, aku melangkahkan kaki kembali ke bangkuku. Ari ternyata sudah duduk manis di bangku Lala sembari membaca novel. Suatu kebetulan, karena seingatku dia lebih suka membaca komik.

"Ra, buka gih," titahnya saat aku duduk di bangkuku. Ia menyodorkan kotak itu ke arahku.

"Kok jadi kamu yang repot, sih? Kan, belum tentu buatku," sewotku.

"Kan di atas mejamu. Berarti buatmu." kilahnya.

"Yaudah, buka aja. Kan kamu yang ribet dari tadi." balasku ketus. Dia terdiam. Aku meliriknya, kemudian mengalihkan pandanganku. Aneh. Aku merasa, ada sesuatu yang membuatnya memaksaku membuka kado itu.

Sejenak kemudian, aku mendengar suara robekan kertas. Aku menoleh. Ari merobek kertas itu perlahan, dengan ekspresi wajah yang membuatku tidak bisa menahan tawa. Ia mengangkat kepalanya, seulas senyum tipis tersungging disana.

"Ngerobek aja susah banget, sih." gumamku. Aku mengambil alih kado itu dari tangannya. Kemudian hanya ada suara robekan kertas yang mengisi kesunyian diantara kami. Ari sendiri sedang memainkan sisa robekan bungkus kado.

Gerakan tanganku terhenti saat mengetahui isinya. Sebuah buku yang tebal. Ada gambar lima ekor anak kucing yang duduk berdempetan di sampulnya.

"Hmm.. bagus tuh," komentar Ari. Seperti biasa, tiba-tiba. Aku membolak-balik buku itu, membuka acak beberapa halaman. Setiap berjarak lima lembar, ada kata-kata motivasi yang dikutip entah darimana, dan dihias seadanya. Hm..cukup menarik.

"Ada suratnya." ujar Ari. Ia menunjuk sebuah kertas berlipat yang tertindih sikuku.

'This is your weekly journal! Tulis apa aja yang pengin kamu tulis, 7 lembar setiap minggu. Reach your dream to be a writer. Ganbatte!'

Oke, ini adalah sebuah tantangan untukku. Seulas senyum tersungging di bibirku. Challange accepted!

Walaupun sempat penasaran dengan pemberi kado unik itu, aku tetap menjalankan tantangannya. Aku menulis tentang khayalan-khayalan yang terkadang muncul secara acak di benakku. Menyenangkan, sekaligus terkadang melelahkan. Aku harus menyempatkan menulis ditengah padatnya kegiatan yang kuikuti.

Aku masih setengah sadar saat di suatu hari yang mendung, aku mendengar suara kertas yang dibolak-balik. Siapa lagi kalau bukan..

"Ari!" seruku. Aku berusaha menggapai buku yang ada di tangannya. Ari yang notabene lebih tinggi dariku malah mengangkat bukuku tinggi-tinggi. Buku kado itu!

"Apasih, Haura? Kumpulin nyawa dulu sana," ujarnya dengan cengiran usil. Aku memanyunkan bibirku. Ari melengos, pura-pura tidak peduli. Ia melanjutkan membaca isi bukuku. Aku pasrah, terserah dia saja.

"Ada lomba cerpen loh, Ra." ujar Ari memecah kesunyian. Entahlah, teman-teman sekelasku sibuk dengan urusannya masing-masing.

Aku mengangkat kepalaku dari meja. "Ya, terus?" aku menanggapi dengan tidak niat.

"Ikutan, gih. Lumayan tau hadiahnya. Hitung-hitung cari pengalaman juga." jawabnya. "Nih, ada tulisanmu yang temanya sesuai. Tinggal dibaikin dikit lagi."

"Daftarin.." ujarku dengan nada seperti anak kecil yang menginginkan permen.

"Iya, iya. Untung sayang," gerutunya. Aku membelalakkan mata mendengar kalimat terakhirnya.

 "Hah, kenapa kenapa?" sahutku. Dia menggeleng, mengatupkan bibirnya.

---

Aku mungkin bukan orang yang istimewa di mata Haura. Tapi aku tahu, dia punya sebuah mimpi yang sangat ingin dia wujudkan. Sebagai sahabatnya yang baik hati dan tidak sombong ini, aku berinisiatif membantunya. Memantau konsistensinya menulis di buku uniknya itu. Mendorongnya ikut lomba, menyemanatinya ketika ia merasa down, kemudian meledek sekaligus memberinya selamat ketika tulisannya terpilih menjadi pemenang. Hal itu terus berulang sampai tiba hari kelulusan kami. Total ada lima buku antologi cerpennya yang telah terbit, dan satu buah novel yang sebentar lagi rampung dan akan dikirimnya ke penerbit. Syukurlah, tinggal selangkah lagi menuju mimpinya yang lebih besar lagi.

"Ri, foto, yuk!" Haura menghampiriku di antara kerumunan manusia. Jilbab berwarna coklat muda membingkai wajah manisnya yang disapu make-up tipis. Tampak..ehm. Menawan.

Aku mengangkat alisku dengan senyum usil. "Tumben." gumamku. Haura menarik ujung jas yang kukenakan. Aku jadi berpikir, apakah setelah ini masih bisa bertemu dengannya lagi, dan menyaksikan mimpinya terwujud satu-persatu?

"Agak kesini, ih," Haura kembali menarik ujung lengan jasku. Aku bergeser sedikit.

Selesai berfoto, Anan, sobatku memanggilku dari kejauhan. Aku baru akan melangkah saat Haura kembali menahanku. Ia tampak kikuk. Lucu, tapi aku ikut berdebar juga.

"Ini..jaga baik-baik." ia menyodorkan sebuah bungkusan kado kepadaku.

"Makasih bukunya. Nanti kalau novelku sudah terbit, jangan lupa beli, ya." katanya malu-malu.

"Insya Allah," jawabku. Ia melambaikan tangannya, lalu beranjak. Aku menghela napas.

Tunggu, darimana dia tahu kalau buku itu dariku?

Perkara Puspa

Matahari bersinar terik, memancarkan cahaya yang diperlukan oleh setiap makhluk-Nya. Jalan aspal yang kering dan berdebu menemani langkah Puspa kembali ke tempatnya bernaung, menggendong tas plastik besar yang masih ada isinya setengah. Di dalam tas itu bercampur aneka jajanan pasar kegemarannya sekaligus amanahnya dari sang ibu.

Dengan dada yang dipenuhi rasa bersalah, Puspa menyerahkan kembali tas plastik itu. Tanpa berani menatap ibunya yang memandangnya teduh. Tangan yang tak lagi muda itu mengelus kepala Puspa yang terbalut jilbab putih yang agak lusuh, mungkin karena sudah terlalu lawas.

"Maaf ya bu, nggak habis lagi.." lirih Puspa sembari mencium tangan ibunya. Ibu tersenyum, mengangguk perlahan.

Meyakinkan Puspa bahwa tak ada yang disalahkan. Mungkin itu rezeki hari ini, syukuri. Kira-kira itulah yang Puspa baca dari tatapan lembut ibu.

Puspa melangkah lesu menuju kamar mungilnya, melewati beberapa potong ikan asin dan selepek sambal di meja makan. Tak lupa nasi hangat yang uapnya masih mengepul.

'Alhamdulillah', gumamnya dalam hati. Ia membayangkan nikmatnya nasi hangat dan ikan asin, ditemani sambal terasi khas ibu. Mantap!

Usai mengganti seragam dan menunaikan 4 rakaat di siang hari, Puspa menikmati menu siang ini bersama ibu. Ah, lihatlah tatapan haru yang tertuju pada Puspa itu. Haru melihat anak semata wayangnya ini mensyukuri apa yang ada.

"Kenapa, Bu?" Puspa menjeda kegiatannya sejenak saat menyadari ibunya mengusap pipi.

"Nggak papa, Sayang," ibunya tersenyum teduh. Mereka melanjutkan makan siang sederhana itu dengan ditemani cerita Puspa soal kegiatannya di sekolah hari ini.

---

Puspa menunduk, berusaha tak terlihat membawa tas besar itu walaupun kenyataannya ia memang tidak terlihat. Ia hanya murid biasa, tidak pintar, tidak juga berulah. Nilainya biasa-biasa saja, pun wajah dan penampilannya.

"Eeh, misi, misi!"

Puspa merasakan bahunya tersenggol seseorang. Ia hanya meringis, lalu kembali melanjutkan langkahnya ke bangku pojok belakang.

"Itu, tuh, Gita!"

Ia mendengar bisik-bisik teman-temannya yang sedang berkumpul di depan kelas, serempak menoleh ke kelas sebelah.

"Gitaa!"

Riuh, mereka berusaha melambaikan tangan setinggi mungkin agar terlihat.

Sementara gadis kelas sebelah itu hanya tersenyum, menampakkan deretan gigi putih dan lesung pipi yang dalam di sebelah kiri. Suasana bertambah heboh.

"Manis banget!"

"Gita, save WA-ku, dong!"

dan lain sebagainya.

Puspa menyaksikan kejadian itu lewat ekor matanya. Hampir selalu seperti itu. Puspa pikir, hal itu adalah tindakan yang sangat berlebihan.

Norak!

Mentang-mentang wajahnya cantik!

Puspa toh sadar diri, dia memang tidak secantik Gita. Tapi ayolah, apa gunanya memuji-muji seorang gadis yang bahkan mungkin tidak hafal namamu? Lebay.

Gita memang cantik. Badannya tinggi sedang. Kulitnya putih, rambutnya hitam pekat sepunggung. Matanya seakan-akan selalu bersinar setiap saat, membius siapa saja yang bertatapan langsung dengannya.
Pesonanya kuat sekali.

Dan Puspa akui, ia mungkin nyaris sempurna.

Kini, Puspa menatap sendu pada jajanan titipan ibu. Sudah tiga hari ia membawanya ke dalam kelas. Kantin sekolah tidak lagi menerima titipan karena terlalu banyak. Ya sudahlah, mau bagaimana lagi. Mungkin Puspa harus menyiapkan dalih yang meyakinkan jika ada razia di kelas.

"Puspa! Aku mau beli, dong!". Arin, teman sekelasnya menghampiri Puspa dengan wajah sumringah. Semenjak Puspa berjualan jajanan, ia tak lagi repot-repot membeli jajanan di pinggir jalan untuk sarapan. Efisien!

Beberapa orang lagi mengikuti. Sebenarnya, Puspa berharap mereka merekomendasikan dagangannya kepada teman-teman yang lain, jujur karena Puspa bingung seperti apa caranya promosi. Ia tidak terbiasa menawarkan dagangan pada orang lain.

Jam pelajaran kedua, Puspa izin hendak ke toilet. Ia berpapasan dengan Gita. Terpaksa, ia tersenyum masam menanggapi senyuman Gita yang sangat cerah. 

Entahlah, ada sedikit dongkol di hatinya mengingat reaksi Gita yang biasa-biasa saja, bahkan tersenyum ketika digoda oleh teman-teman sekelasnya.

'Cuekin kek, apa kek,' batin Puspa. Tanpa disadarinya, kaki kirinya menginjak tali sepatu sebelah kanan yang terjuntai.


Brukk
Gita menoleh dan terkejut. Refleks, ia mengulurkan tangannya dan membantu Puspa berdiri.

"Eh, nggak apa-apa, kan?" tanyanya dengan raut wajah khawatir. Puspa meringis sembari mengangguk.

"Makasih," ucapnya singkat. Gita tersenyum

"Sama-sama. Euh.. mau kubantu sampai kelas?" tanyanya lagi.

"Nggak, nggak papa kok," Puspa menggeleng kuat-kuat. Ia hanya jatuh, bukan patah tulang. Lagipula, ia yakin akan menjadi bahan perbincangan siswa tengil di kelasnya.

'Kok Gita mau temenan sama dia, sih? Nggak level!'

Mungkin akan begitu.

"Yaudah kalau gitu, aku duluan, ya?" lagi-lagi Gita melempar senyum manis. Puspa hanya membalasnya dengan anggukan.
Setelah mengikat tali sepatunya kembali, Puspa melangkah gontai menuju kelasnya. Ada firasat kurang baik yang ia rasakan. 

Beberapa temannya berdiri di depan kelas, berbisik-bisik.

Puspa melongok keadaan di dalam kelas melalui jendela. Ada kerumunan.

"Ada apa?" tanyanya setengah berbisik kepada kedua temannya.

"Razia." jawab salah satunya, singkat. Mata Puspa membelalak. Ia buru-buru masuk ke dalam kelas.

"Puspa Widyawati?"
Puspa terkesiap. Tatapan guru BK itu menghujamnya, menuntut penjelasan.

---


Puspa menyeret langkahnya keluar dari ruang BK. Alibi sekuat apapun, tetap saja berjualan bukanlah hal yang septutnya dilakukan di dalam kelas.

Kepalanya pening.

Sementara Gita menunggu di dekat pintu, sembari mengawasi keadaan sekitar.

"Eh, Puspa," panggilnya ketika melihat Puspa keluar. Puspa hanya mengangkat alisnya. Sejujurnya, ia masih merasa Gita ini terlalu berlebihan.

"Eh.. itu, kamu.. pasti mau cari tempat buat nitipin jualan kamu.., kan?" tanyanya dengan hati-hati. Kedua alis Puspa sempat bertaut sejenak sebelum akhirnya mengangguk.

"Oke. Kamu tau nggak, di tikungan sebelum ke sekolah, ada warung kecil yang masih mau nerima titipan, kok," ujarnya. Puspa menyimak dengan serius.

"Beneran?" tanyanya. Gita mengangguk antusias.

"Deket, kok. Nanti aku kasihtau tempatnya." ujarnya lagi.

" Iya, Git. Nggak papa, kamu kasihtau patokannya aja, biar aku sendiri yang kesana. Oh iya, btw, makasih ya, Git!" jawab Puspa. Gita mengangguk.

Esoknya, Gita membuat pengumuman yang mengejutkan di media sosial dan mading kelas.

'Teman-teman atau kakak-kakak yang mau beli jajanan buat sarapan, bisa beli di ibu aku, ya! Dijamin enak dan murah meriah!'

Puspa sendiri terkejut begitu membaca pengumuman itu. Bahkan Gita sampai 'menjual' nama ibunya demi menarik pelanggan. Sudah diduga, pasti banyak yang membeli. Entah karena Gita, atau karena hal lain.

Tetapi pengumuman itu manjur sekali, karena Puspa dan ibu langsung kebanjiran pesanan lewat warung kecil itu.
Mulai saat itu juga Puspa semakin semangat belajar dan sibuk membantu ibu.

Bertemu Gita untuk sekadar menyapa saja tidak pernah lagi. Ah, ia jadi merasa berutang budi.

Puspa melangkah pelan diantara rombongan siswa yang baru kembali dari membeli jualannya. Ia merasa dirinya saja seperti tak terlihat, bagaimana jika dia yang promosi? Oh, mungkin malah mereka akan kabur semua.

"Eh, Puspa. Yang sibuk, nih," ujar sebuah suara yang amat familiar. Puspa menoleh. Gita!

"Eh, Gita! Makasih banyak ya!" ujar Puspa ceria. Gita mengangguk sambil memberi isyarat diam.

"Oh iya, maaf juga Git, demi promoin jualanku, kamu sampe ngaku kalo itu jualannya ibumu. Wajar sih, mereka mana mau dengerin omongan dari aku yang ga pantes ini.." ujar Puspa setengah berbisik. Gita melongo.

"Aku nggak ngaku-ngaku, Puspa. Memang yang jualan di warung itu, ibuku kok," jawab Gita.

Kedua mata Puspa membelalak.

"Iya, dan aku nggak berpikir sampe kesana sih," Gita tertawa sumbang. "Aku udah capek dinilai orang lain dari tampangku doang. Aku kagum sama kamu, Pa. Kamu rajin, bantuin orang tua. Lagian, sampai kapan, sih, mau-maunya nurutin standar kecantikan ecek-ecek itu?" kali ini Gita berapi-api.

Mereka berdua terdiam.

"..dan.. aku ngerespon mereka pake senyum biar mereka nggak anggap aku sombong," Gita tersenyum miris. Puspa menggaruk pelipisnya yang mendadak gatal.

"Maaf ya, Git, aku.. udah berburuk sangka sama kamu selama ini," ucap Puspa pelan. Gita terkekeh.

"Iya, aku ngerti, kok," ia tersenyum manis.

"Tapi.. aku dapat persenan lebih, ya?" ujarnya sambil menaik-turunkan alis.

Puspa tertawa renyah. Untuk pertama kali dalam hidupnya, ia merasa percaya diri sekali.

Jalan Terbaik

Suasana kafe selalu menyenangkan untuk dinikmati. Apalagi, kafe dengan nuansa klasik ini. Bersama dengan orang yang disayangi, pula. Tetapi kesan menyenangkan itu tidak berlaku untuk kali ini. Dua cangkir cokelat hangat sudah tandas sekitar lima belas menit yang lalu.

Aku kembali memandangi wajah teduh yang tengah sendu itu. Sorot matanya meredup, bahunya lunglai. Ia menghela nafas untuk yang kesekian kalinya.

"Kamu nggak bilang apa-apa, Ra?" tanyanya dengan suara penuh kekecewaan.

"Ira nggak nyangka sampe kesana, Ki. Ira kira, cuma perkenalan biasa aja," jawabku takut-takut. Sejujurnya, aku sendiri pun tidak menyangka akan jadi begini. Setahuku, Umma memang akrab dengan bunda-nya Rafa. Tidak terlintas sama sekali di benakku bahwa kami akan dijodohkan. Wajar jika Iki--panggilan khususku untuk Fikri--kecewa.

Empat tahun kami putus kontak demi pendidikan Fikri di pesantren. Selama itu pula, aku berusaha untuk menjaga kesetiaanku. Fokus pada pendidikan sarjana yang sedang ku tempuh, dengan harapan kami bisa menyelesaikan pendidikan kami berbarengan. Lalu ia akan meminangku. Itu rencana awalnya.

"Kalau dipikir-pikir, aku memang nekat, Ra," ujarnya. "Dari dulu, ada aja yang menghalangi langkahku ke kamu. Pas aku suka, ada orang lain yang deketin kamu. Habis itu, kita backstreet. Bahkan sahabatmu sendiri nggak tau. Lulus SMA, aku mau ngelamar kamu, eh kamunya diminta orang tuamu untuk kuliah dulu." ia tersenyum miris. "Berat banget ya, perjuangan kita."

Aku menelan air liur dengan susah. "Maaf, Ki. Selama ini aku banyak bikin kamu repot. Bikin kamu harus berjuang berkali-kali," ucapku sambil menunduk. Entahlah, rasanya aku tak sanggup menatap matanya lagi.

"Aku pikir, Umma tau rencana kita, Ra. Ternyata enggak ya?" pertantaannya menghujam jantungku.

"Umma tau, Ki. Tapi Umma pikir, lebih baik Rafa yang Umma udah tau bibit bobot bebetnya. Apalagi, Umma belum pernah ketemu sama Iki," jelasku. Lagi-lagi aku seolah menyalahkannya. Tetapi, memang itulah kenyataannya.

Hening lagi. Hanya terdengar alunan musik klasik di penjuru kafe ini. Kami sibuk menebak pikiran satu sama lain.

Fikri menyugar rambutnya. Elegan sekali. Seulas senyum yang dipaksakan masih bertengger di bibirnya.

"Ra.. aku nggak mungkin maksa kamu buat nentang keputusan Umma. Aku ini bukan siapa-siapa. Apalagi.." Fikri menjeda kalimatnya. "Rafa lelaki yang baik, kan? Dia lebih pantas bimbing kamu.."

Tes! Sebulir air mataku jatuh. Ucapan Fikri lebih seperti menenangkan dirinya sendiri. Mengapa ia bisa begitu tegar? Padahal sudah berkali-kali aku membuatnya menunda.

"Ra, kalo kamu nangis, aku ikut nangis, nih.." ujarnya dengan nada setengah bercanda. Makin deraslah air mataku. Aku membenamkan wajahku, sesenggukan. Ini salahku. Kenapa tidak kutolak saja permintaan Umma? Kenapa aku tidak berjuang seperti yang ia lakukan? Kenapa tidak kuyakinkan Umma untuk menerima Fikri?

"Sudah, Ra.." Fikri menepuk kepalaku lembut. "Nggak perlu kamu sesali. Yah, mungkin.. aku cuma perantara Rafa untuk jagain kamu, selama belum ketemu sama dia."

Aku masih belum mengangkat kepalaku. Malu rasanya jika harus meminta Fikri berjuang lagi. Apa harus, aku menerima semua ini?

"Kalo kamu bahagia, insya Allah aku juga bahagia, Ra.. Udah ya? Aku anter kamu pulang? Ini udah malam.." tawarnya. Kuberanikan diri mengangkat kepalaku. Masih kulihat wajah tegar yang sama. Tetapi, tak lagi sorot matanya tertuju padaku.

Sepanjang perjalanan, tidak ada satupun percakapan di antara kami. Entahlah, aku sudah terlalu lelah untuk berkata bahwa aku baik-baik saja. Begitupun Fikri. Bahkan sampai di depan pagar rumahku.

"Ra.." panggilnya saat aku hendak beranjak. Aku menunggu kalimat selanjutnya dengan hati yang terlanjur tercabik-cabik. Aku sudah menduga kemana arah pembicaraan ini.

"Ikhlas ya, Ra? Kamu harus bahagia pokoknya. Harus!" Astaga, senyuman itu masih bertengger disana. Aku menggigit bibir, menahan tangis. Kuanggukkan kepalaku pelan.

"Aku pamit ya, Ra. Assalamualaikum," ia menatapku untuk terakhir kali, sebelum akhirnya benar-benar berbalik arah. Tidak menoleh lagi.

"Waalaikumsalam," jawabku lirih. Air mataku sudah tak bisa ku bendung lagi.

---

Dua bulan terakhir ini merupakan waktu yang berat bagiku. Fikri benar-benar melepaskanku. Tak ada satupun media sosialnya yang aktif. Meskipun berat, akhirnya aku tetap mematuhi keinginan Umma. Siapa lagi yang akan aku bahagiakan, jika bukan kedua orang tuaku sendiri?

Rafa sendiri sebenarnya bukan sosok yang tidak pantas. Sangat pantas, malahan. Hanya saja, aku tidak mempunyai perasaan apapun. Hatiku sudah terlanjur tertawan oleh Fikri. Tetapi, ah..sudahlah. Tidak ada yang bisa di ulang kembali. Tidak ada yang bisa mencegah penyesalan.

"Ra, temanmu, tuh," tepuk Rafa. Ia menunjuk ke arah pintu masuk. Ya, acara resepsi kami, tentunya.

"Cinta bisa tumbuh seiring waktu berjalan, sayang," nasehat Umma tepat sebelum acara dimulai. Aku hanya tersenyum tipis.

"Iraaa!" Warda, sahabatku sejak masa SMA memelukku erat. Aku membalas pelukannya tak kalah erat. Lama sudah kami tidak bertukar kabar. Warda mengabdi di sebuah desa terpencil, cita-citanya sejak kami masih berseragam putih abu dahulu.
"Bahagia selalu ya, Ra," bisiknya. Aku mengangguk dengan mata berkaca-kaca.

"Sama siapa, Da?" tanyaku penasaran. Di belakang Warda ada seseorang. Ia masih menunduk sejak tadi. Jangan bilang..

"Ra, maaf ya," ujar orang itu lirih. Aku terpaku. Fikri dan Warda..?
"Ra, bengong, sih?" Rafa menegurku. Aku terkesiap.

"Eh, iya Da, makasih ya.. Oh iya, cepet nyusul, ya," ucapku tulus. Entah mengapa, tiba-tiba saja rasa khawatir itu menguap. Aku percaya, Fikri tidak salah pilih. Dan anehnya, aku tidak merasa keberatan sama sekali.

"Maaf ya, Ra. Kalau kamu mau benci aku, nggak papa kok. Aku jahat ya, Ra?" Warda menggenggam kedua tanganku erat.

Aku menggeleng cepat. "Enggak, Da. Malah aku yang makasih. Ehm.. jaga dia baik-baik ya, Da," perlahan, kurasakan senyumku merekah kembali. Warda ikut tersenyum. Kami berpelukan erat.

"Kalau kamu sakitin dia, Fik, awas aja," ancamku pada Fikri. Ia tersenyum. Tak ada lagi raut khawatir di sana.

Yah, terkadang, melihat orang yang kau sayangi bahagia, adalah cara paling manis untuk mengikhlaskan. Dan aku akhirnya tahu, bahwa aku bukannya tidak ikhlas, melainkan hanya mengkhawatirkan kebahagiaannya.

Jiwa Nestapa

"HATCHI!"
Sekilas, beberapa partikel debu membentuk kabut tipis, lalu membaur dengan udara. Kembali mengusik hidung, menggelitik dan lagi-lagi menimbulkan rasa ingin bersin. Tapi tak jadi. Sebuah buku usang teronggok di atas lemari, berselimutkan debu dan sarang laba-laba yang ditinggal pemiliknya.

Perlahan, buku itu kutarik dan menyisakan bekas yang tak terjamah debu. Bersamaan dengan jatuhnya selembar foto yang mulai pudar. Sepasang mataku mulai memerah karena terkena debu saat mengamati selembar foto itu.

"Ini.. bunda, kan?" aku menoleh pada Tia. Ia mengangguk pelan. Aku menelusuri wajah teduh itu. Cantik yang menenangkan.

"Bunda sayang banget sama kamu, Nada," ujar Tia lirih, suaranya nyaris terbawa angin.
Aku mengangguk. "Bilangin, aku juga sayang banget sama bunda,". Aku terkekeh kecil.

"Bilangin juga, ayah sudah nggak mukulin aku lagi. Aku baik-baik aja disini sama kamu."
Tia menatapku sendu. Aku membalasnya dengan senyum pedih.

"Andai aja, aku bisa ketemu bunda," anganku melayang, membayangkan bunda memelukku erat, mengusap kepalaku lembut. Ah, hanya angan semata.

Sesuatu membawa kakiku melangkah keluar dari ruangan itu. Aku menghempaskan diriku di sofa, kembali termenung memperhatikan foto bunda. Tanpa terasa, air mataku meleleh. Sibuk memikirkan hidupku yang amat pilu.

Ditinggal bunda sejak aku baru saja melihat dunia, kemudian harus hidup berdua dengan ayah yang sangat temperamental. Salah sedikit, tangan kekar itu akan langsung melayang ke pipiku. Tak puas juga, kadang mencubit tanganku hingga membiru. Atau menyabetku dengan ikat pinggangnya yang terbuat dari kulit. Ya, begitulah aku hidup selama bertahun-tahun.

Hingga akhirnya, aku bertemu dengan Tia. Ia selalu menenangkanku saat aku menangis. Memelukku hangat, layaknya seorang kakak. Dia jualah yang terus-menerus menguatkanku untuk tetap bertahan.
Bahkan sampai ayah pergi menyusul bunda. Aku kehilangan sosok orang tua satu-satunya, walaupun ia selalu menyakitiku. Bahkan untuk alasan yang tidak kumengerti.

DOK! DOK! DOK!

"Dia disini!"

Keningku mengernyit. Orang-orang itu lagi. Sebenarnya, apa sih, mau mereka?
"Mereka lagi," Tia menatap tajam ke arah pintu.

"Apa kita harus lari lagi?" tanyaku padanya. Ia mengangguk.

"Harus. Kalau tidak, mereka akan memasukkanmu ke ruangan menakutkan itu lagi. Dipaksa minum obat setiap hari. Kau mau?" tanyanya. Aku menggeleng cepat.

"Kalau begitu, ayo!" ia menarik tanganku. Aku bangkit, mengikutinya keluar dari pintu belakang. Sementara orang-orang itu masih berteriak-teriak penuh amarah di depan.

Aku menyelinap di antara pepohonan, lalu kembali berlari saat mereka tak melihat.
"Hei! Itu dia!" teriak seseorang. Sial, mereka akan mengejarku lagi.

"Nada, ayo! Lari lebih kencang!" Tia menyemangatiku. Aku menurutinya. Sementara dibelakangku, orang-orang itu mulai mengejarku.

"Tangkap perempuan tidak waras itu!" terdengar lagi teriakan salah satu dari mereka.

Arkh, kini aku berada di pinggir jalan besar yang ramai. Mereka masih terus bergerak. Aku mencari celah secepat mungkin. Tia menarik tanganku, menerobos keramaian. Aku mempercepat langkahku. Tanpa ku sadari, sebuah truk melaju dengan kecepatan tinggi ke arahku.

CKIITT! BRAKK!

Dapat ku dengar suara jeritan orang-orang dan suara klakson yang saling bersahutan, sebelum akhirnya aku terkapar. Sebuah mobil menabrakku. Tia terlepas dari genggamanku.
Gelap. Hanya itu yang kulihat.

Mereka mengerumuniku.

"Dia sudah mati."
"Kasihan, bawalah bonekanya kemari. Siapa nama bonekanya?"
"Tia. Kita kuburkan saja bersamanya."