Selasa, 07 Juli 2020

Simalakama

Ibu jariku perlahan menggeser layar yang lebarnya tak seberapa itu. Mataku memilah dengan teliti baris demi baris nama yang tercantum dalam daftar siswa yang berhak memilih perguruan tinggi negeri idamannya dengan modal angka yang memadai. Namun, sampai baris terakhir pun, tak juga aku menemukan namaku terselip di antara deretan nama-nama beruntung itu. Hah..aku menghela napas. Agak sulit rupanya untuk menerima kenyataan. Baiklah, kalau begitu aku harus bersiap-siap untuk mengikuti jalur selanjutnya-jika memang berminat-demi keinginanku untuk menuntut ilmu di kampus terpandang itu.

"Ren!" Sebuah suara agak melengking bervolume lumayan tinggi tepat di depan telingaku membuat sarafku mengantarkan sinyal langsung ke sumsum tulang belakang dan menghasilkan gerak spontan. Pemilik suara itu tertawa lepas tanpa rasa bersalah.

"Gimana? Masuk, nggak" tanyanya sembari mengangkat alis. Aku hanya membalasnya dengan mengangkat bahu. Gadis semampai berjilbab terulur dengan bros biru kecil itu mengambil tempat di sebelahku.

"Aku juga nggak. Santai aja, banyak jalan menuju Roma, kok," ucapnya, terdengar lebih seperti menyemangati dirinya sendiri. Aku hanya mengangguk-angguk. Naya, nama pemilik senyuman semahal mutiara itu. Tiga bulan lebih muda dariku, bermata tajam, dan sangat senang membuatku mengerutkan dahi karena harus memahami maksud dari perkataannya. Tak apa. Toh, dengan begitu, aku bisa melihatnya tertawa renyah, serenyah crepes cokelat kesukaanku.

"Eh, Ren. Kamu jadi tuh, mau masuk di sana?" ia menyebut perguruan tinggi idamanku dengan mimik wajah serius. "Ya, insya Allah," jawabku singkat. "Kenapa? Kamu mau ke situ juga?" tanyaku balik. Dia memutar bola matanya.

"Mm.. rahasia, lah! Kepo amat, sih," jawabnya. "Ya..siapa tahu?" godaku. Ia hanya mencibir, lalu kembali berdiri dan menghampiri sobat karibnya. Sementara aku berpikir keras. Naya terkadang hanya menanyakan hal-hal yang menurutnya penting baginya. Jadi, aku menyimpulkan ada sesuatu antara Naya dan perguruan tinggi idamanku. Dasar, Naya.

"Denger-denger, daya tampung di jurusan yang kamu mau nggak sampai 30 orang ya, Ren?" Naya muncul tiba-tiba ketika aku sedang berkutat dengan buku setebal kamus usai salat zuhur. Aku menatapnya, kemudian menaikkan kacamataku yang terturun.

"Tahu dari mana?" tanyaku singkat. Naya mengintip kover buku yang sedang kubaca. "Denger-denger aja," ujarnya. "Yaudahlah. Semangat melanjutkan perjuangan. Aku mau isi perut dulu," pamitnya. "Mau air putih atau air mineral?" tawarnya tanpa basa-basi. Aku terkekeh. "Nggak beda kali, Nay," protesku.
"Beda. Air mineral itu yang ada.. Eh, Fa! Tungguin!" ia langsung melesat, menyusul Efa yang sudah melenggang ke depan pintu.
"Tunggu, ya!" serunya.
Ujung bibirku tertarik sedikit ke atas. Naya selalu punya cara tersendiri untuk membuat orang di sekitarnya tersenyum.

---

Sejak H-10 pelaksanaan ujian, aku semakin jarang bertemu Naya. Ia melewati hari pertama Ujian Nasional dengan sumringah. Aku tahu, pasti karena mata pelajaran favoritnya. Sementara di hari-hari selanjutnya, ia hanya mengangkat alis ketika kami berpapasan di koridor.

Senyumnya baru terlihat lagi setelah selesai pelaksanaan Ujian Nasional. Aku baru akan bertanya 'kenapa?' ketika ia buru-buru menghampiri ojek daring pesanannya. Ia berjanji akan bercerita setelah kami menyelesaikan ujian masuk perguruan tinggi ini. Membuatku menerka-nerka tentang apa yang kira-kira akan dikatakannya. Mungkin, dia juga akan menuju perguruan tinggi yang kupilih?

'Habis ujian, ketemu di pintu masuk, ya!' pesannya lewat whatsup tepat sebelum aku berangkat menuju tempat pelaksanaan ujian. Kebetulan, tempat ujian kami sama.

Sebuah kebetulan yang sangat manis.

Nyaris saja konsentrasiku buyar saat mengerjakan soal gara-gara hal itu.


Tepat setelah selesai dan mengucap syukur, aku menunggu Naya di tempat yang disebutnya. Ada banyak orang berlalu-lalang, sehingga agak sulit untuk menemukan Naya diantara orang-orang itu.

Lima menit kemudian, Naya muncul dengan jilbab berwarna cokelat muda. Raut wajahnya seketika berubah ketika melihatku. Jilbab itu, yang pernah dikenakannya saat kami berlibur bersama anak-anak kelas ke puncak kota. Saat itu Naya hampir terjatuh karena terinjak roknya sendiri. Untungnya, dia berhasil berpegangan pada lenganku. Walaupun hanya beberapa detik dan setelahnya ia panik dan berkali-kali memohon maaf padaku. Lucu sekali.

"Ren!" Naya mengibaskan tangannya di depan wajahku. "Bengong aja. Gimana, tadi?" tanyanya.

"Alhamdulillah, seenggaknya yakin 60% lah," jawabku terkikik. "Kamu?" tanyaku balik.

"Yaa..kurang lebih sama," ujarnya. "Kepalaku pusing sebelah lihat angka banyak," ia memukul-mukul kepalanya pelan.

" Jadi.. kamu mau ngomong soal apa?" aku memulai dengan dada berdebar.
"Em.. anu, Ren. Kamu tahu, nggak, Riko anak kelas sebelah?" tanyanya dengan suara kecil.
Perasaanku tiba-tiba tidak enak.

"Kenapa dia?" tanyaku dengan suara yang tak kalah kecil.

"Dia kemaren bilang sama aku, mau masuk di jurusan yang kamu juga mau masuk itu, loh!" kata Naya lagi. Aku mengerutkan dahi.

"Ya, terus?" tanyaku lagi. "Ya, eh gimana ya, Ren? Kan dia kemaren sempet bilang juga, kalo ternyata dia tuh.. juga.. ada rasa gitu kan.." suara Naya semakin kecil. 

"Hah? Apa Nay? Siapa?" aku meminta kejelasan.

"Ih, kamu ini. Dia tuh ternyata juga ada rasa.. sama.. aku.. Nah jadi.. "

Deg! Empat kata itu terngiang-ngiang di telingaku. Pandanganku kabur, sekitarku tiba-tiba menjadi senyap. Hanya empat kata itu yang berputar-putar di benakku. Naya..?

"..ya, Ren, ya? Kan aku mau kuliah di sini aja tuh, jadi kan kamu yang bakal sering ketemu sama dia.. ya? Ya? Pliss Ren.." Naya masih melanjutkan kalimatnya. Sementara otakku masih mencerna kata-kata Naya. Apalagi ini? Aku disuruhnya untuk memantau si Riko-riko itu? Sekarang di benakku hanya ada tiga kata yang berputar-putar; Naya, Riko, rasa.

"Ren!" Naya mengibaskan tangannya kembali di depan wajahku. "E..eh apa sih N-Nay?" aku membuang pandanganku nun jauh ke sana. Entah kemana.

"Aih, Ren..masa kau gitu sama sahabatmu sendiri?" Naya mengikuti arah pandanganku. "Kamu lihat apa, sih? Ayolah.."

Nay, ayolah.. Apa, sih? Aku menggeleng tegas. Kulangkahkan kakiku menjauh dari Naya.

"Ren!" Naya bersikeras menyejajarkan langkahnya. "Aku sudah pernah loh, cerita Riko ke kamu," ujarnya lagi.

Cerita? Bahkan Naya hanya menunjukkan akun media sosial orang itu, menyebut ekskulnya, lalu kembali tenggelam dengan ponselnya.

"Nay.." aku menghela napas. Entah harus bagaimana lagi aku bereaksi. Entah apa yang akan dia katakan.

'Aku suka sama kamu, Nay!'

Sayangnya, itu hanyalah bayanganku semata. Naya masih menunggu kata-kata yang akan ku ucapkan.

"Kalau sempat ya, Nay.."

Astaga.

Dan Naya, mengangguk dengan riangnya. Meninggalkan luka menganga yang dia buat, entah sampai kapan lamanya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar