Suasana kafe selalu menyenangkan untuk dinikmati. Apalagi, kafe dengan nuansa klasik ini. Bersama dengan orang yang disayangi, pula. Tetapi kesan menyenangkan itu tidak berlaku untuk kali ini. Dua cangkir cokelat hangat sudah tandas sekitar lima belas menit yang lalu.
Aku kembali memandangi wajah teduh yang tengah sendu itu. Sorot matanya meredup, bahunya lunglai. Ia menghela nafas untuk yang kesekian kalinya.
"Kamu nggak bilang apa-apa, Ra?" tanyanya dengan suara penuh kekecewaan.
"Ira nggak nyangka sampe kesana, Ki. Ira kira, cuma perkenalan biasa aja," jawabku takut-takut. Sejujurnya, aku sendiri pun tidak menyangka akan jadi begini. Setahuku, Umma memang akrab dengan bunda-nya Rafa. Tidak terlintas sama sekali di benakku bahwa kami akan dijodohkan. Wajar jika Iki--panggilan khususku untuk Fikri--kecewa.
Empat tahun kami putus kontak demi pendidikan Fikri di pesantren. Selama itu pula, aku berusaha untuk menjaga kesetiaanku. Fokus pada pendidikan sarjana yang sedang ku tempuh, dengan harapan kami bisa menyelesaikan pendidikan kami berbarengan. Lalu ia akan meminangku. Itu rencana awalnya.
"Kalau dipikir-pikir, aku memang nekat, Ra," ujarnya. "Dari dulu, ada aja yang menghalangi langkahku ke kamu. Pas aku suka, ada orang lain yang deketin kamu. Habis itu, kita backstreet. Bahkan sahabatmu sendiri nggak tau. Lulus SMA, aku mau ngelamar kamu, eh kamunya diminta orang tuamu untuk kuliah dulu." ia tersenyum miris. "Berat banget ya, perjuangan kita."
Aku menelan air liur dengan susah. "Maaf, Ki. Selama ini aku banyak bikin kamu repot. Bikin kamu harus berjuang berkali-kali," ucapku sambil menunduk. Entahlah, rasanya aku tak sanggup menatap matanya lagi.
"Aku pikir, Umma tau rencana kita, Ra. Ternyata enggak ya?" pertantaannya menghujam jantungku.
"Umma tau, Ki. Tapi Umma pikir, lebih baik Rafa yang Umma udah tau bibit bobot bebetnya. Apalagi, Umma belum pernah ketemu sama Iki," jelasku. Lagi-lagi aku seolah menyalahkannya. Tetapi, memang itulah kenyataannya.
Hening lagi. Hanya terdengar alunan musik klasik di penjuru kafe ini. Kami sibuk menebak pikiran satu sama lain.
Fikri menyugar rambutnya. Elegan sekali. Seulas senyum yang dipaksakan masih bertengger di bibirnya.
"Ra.. aku nggak mungkin maksa kamu buat nentang keputusan Umma. Aku ini bukan siapa-siapa. Apalagi.." Fikri menjeda kalimatnya. "Rafa lelaki yang baik, kan? Dia lebih pantas bimbing kamu.."
Tes! Sebulir air mataku jatuh. Ucapan Fikri lebih seperti menenangkan dirinya sendiri. Mengapa ia bisa begitu tegar? Padahal sudah berkali-kali aku membuatnya menunda.
"Ra, kalo kamu nangis, aku ikut nangis, nih.." ujarnya dengan nada setengah bercanda. Makin deraslah air mataku. Aku membenamkan wajahku, sesenggukan. Ini salahku. Kenapa tidak kutolak saja permintaan Umma? Kenapa aku tidak berjuang seperti yang ia lakukan? Kenapa tidak kuyakinkan Umma untuk menerima Fikri?
"Sudah, Ra.." Fikri menepuk kepalaku lembut. "Nggak perlu kamu sesali. Yah, mungkin.. aku cuma perantara Rafa untuk jagain kamu, selama belum ketemu sama dia."
Aku masih belum mengangkat kepalaku. Malu rasanya jika harus meminta Fikri berjuang lagi. Apa harus, aku menerima semua ini?
"Kalo kamu bahagia, insya Allah aku juga bahagia, Ra.. Udah ya? Aku anter kamu pulang? Ini udah malam.." tawarnya. Kuberanikan diri mengangkat kepalaku. Masih kulihat wajah tegar yang sama. Tetapi, tak lagi sorot matanya tertuju padaku.
Sepanjang perjalanan, tidak ada satupun percakapan di antara kami. Entahlah, aku sudah terlalu lelah untuk berkata bahwa aku baik-baik saja. Begitupun Fikri. Bahkan sampai di depan pagar rumahku.
"Ra.." panggilnya saat aku hendak beranjak. Aku menunggu kalimat selanjutnya dengan hati yang terlanjur tercabik-cabik. Aku sudah menduga kemana arah pembicaraan ini.
"Ikhlas ya, Ra? Kamu harus bahagia pokoknya. Harus!" Astaga, senyuman itu masih bertengger disana. Aku menggigit bibir, menahan tangis. Kuanggukkan kepalaku pelan.
"Aku pamit ya, Ra. Assalamualaikum," ia menatapku untuk terakhir kali, sebelum akhirnya benar-benar berbalik arah. Tidak menoleh lagi.
"Waalaikumsalam," jawabku lirih. Air mataku sudah tak bisa ku bendung lagi.
---
Dua bulan terakhir ini merupakan waktu yang berat bagiku. Fikri benar-benar melepaskanku. Tak ada satupun media sosialnya yang aktif. Meskipun berat, akhirnya aku tetap mematuhi keinginan Umma. Siapa lagi yang akan aku bahagiakan, jika bukan kedua orang tuaku sendiri?
Rafa sendiri sebenarnya bukan sosok yang tidak pantas. Sangat pantas, malahan. Hanya saja, aku tidak mempunyai perasaan apapun. Hatiku sudah terlanjur tertawan oleh Fikri. Tetapi, ah..sudahlah. Tidak ada yang bisa di ulang kembali. Tidak ada yang bisa mencegah penyesalan.
"Ra, temanmu, tuh," tepuk Rafa. Ia menunjuk ke arah pintu masuk. Ya, acara resepsi kami, tentunya.
"Cinta bisa tumbuh seiring waktu berjalan, sayang," nasehat Umma tepat sebelum acara dimulai. Aku hanya tersenyum tipis.
"Iraaa!" Warda, sahabatku sejak masa SMA memelukku erat. Aku membalas pelukannya tak kalah erat. Lama sudah kami tidak bertukar kabar. Warda mengabdi di sebuah desa terpencil, cita-citanya sejak kami masih berseragam putih abu dahulu.
"Bahagia selalu ya, Ra," bisiknya. Aku mengangguk dengan mata berkaca-kaca.
"Sama siapa, Da?" tanyaku penasaran. Di belakang Warda ada seseorang. Ia masih menunduk sejak tadi. Jangan bilang..
"Ra, maaf ya," ujar orang itu lirih. Aku terpaku. Fikri dan Warda..?
"Ra, bengong, sih?" Rafa menegurku. Aku terkesiap.
"Eh, iya Da, makasih ya.. Oh iya, cepet nyusul, ya," ucapku tulus. Entah mengapa, tiba-tiba saja rasa khawatir itu menguap. Aku percaya, Fikri tidak salah pilih. Dan anehnya, aku tidak merasa keberatan sama sekali.
"Maaf ya, Ra. Kalau kamu mau benci aku, nggak papa kok. Aku jahat ya, Ra?" Warda menggenggam kedua tanganku erat.
Aku menggeleng cepat. "Enggak, Da. Malah aku yang makasih. Ehm.. jaga dia baik-baik ya, Da," perlahan, kurasakan senyumku merekah kembali. Warda ikut tersenyum. Kami berpelukan erat.
"Kalau kamu sakitin dia, Fik, awas aja," ancamku pada Fikri. Ia tersenyum. Tak ada lagi raut khawatir di sana.
Yah, terkadang, melihat orang yang kau sayangi bahagia, adalah cara paling manis untuk mengikhlaskan. Dan aku akhirnya tahu, bahwa aku bukannya tidak ikhlas, melainkan hanya mengkhawatirkan kebahagiaannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar