Matahari bersinar terik, memancarkan cahaya yang diperlukan oleh setiap makhluk-Nya. Jalan aspal yang kering dan berdebu menemani langkah Puspa kembali ke tempatnya bernaung, menggendong tas plastik besar yang masih ada isinya setengah. Di dalam tas itu bercampur aneka jajanan pasar kegemarannya sekaligus amanahnya dari sang ibu.
Dengan dada yang dipenuhi rasa bersalah, Puspa menyerahkan kembali tas plastik itu. Tanpa berani menatap ibunya yang memandangnya teduh. Tangan yang tak lagi muda itu mengelus kepala Puspa yang terbalut jilbab putih yang agak lusuh, mungkin karena sudah terlalu lawas.
"Maaf ya bu, nggak habis lagi.." lirih Puspa sembari mencium tangan ibunya. Ibu tersenyum, mengangguk perlahan.
Meyakinkan Puspa bahwa tak ada yang disalahkan. Mungkin itu rezeki hari ini, syukuri. Kira-kira itulah yang Puspa baca dari tatapan lembut ibu.
Puspa melangkah lesu menuju kamar mungilnya, melewati beberapa potong ikan asin dan selepek sambal di meja makan. Tak lupa nasi hangat yang uapnya masih mengepul.
'Alhamdulillah', gumamnya dalam hati. Ia membayangkan nikmatnya nasi hangat dan ikan asin, ditemani sambal terasi khas ibu. Mantap!
Usai mengganti seragam dan menunaikan 4 rakaat di siang hari, Puspa menikmati menu siang ini bersama ibu. Ah, lihatlah tatapan haru yang tertuju pada Puspa itu. Haru melihat anak semata wayangnya ini mensyukuri apa yang ada.
"Kenapa, Bu?" Puspa menjeda kegiatannya sejenak saat menyadari ibunya mengusap pipi.
"Nggak papa, Sayang," ibunya tersenyum teduh. Mereka melanjutkan makan siang sederhana itu dengan ditemani cerita Puspa soal kegiatannya di sekolah hari ini.
---
Puspa menunduk, berusaha tak terlihat membawa tas besar itu walaupun kenyataannya ia memang tidak terlihat. Ia hanya murid biasa, tidak pintar, tidak juga berulah. Nilainya biasa-biasa saja, pun wajah dan penampilannya.
"Eeh, misi, misi!"
Puspa merasakan bahunya tersenggol seseorang. Ia hanya meringis, lalu kembali melanjutkan langkahnya ke bangku pojok belakang.
"Itu, tuh, Gita!"
Ia mendengar bisik-bisik teman-temannya yang sedang berkumpul di depan kelas, serempak menoleh ke kelas sebelah.
"Gitaa!"
Riuh, mereka berusaha melambaikan tangan setinggi mungkin agar terlihat.
Sementara gadis kelas sebelah itu hanya tersenyum, menampakkan deretan gigi putih dan lesung pipi yang dalam di sebelah kiri. Suasana bertambah heboh.
"Manis banget!"
"Gita, save WA-ku, dong!"
dan lain sebagainya.
Puspa menyaksikan kejadian itu lewat ekor matanya. Hampir selalu seperti itu. Puspa pikir, hal itu adalah tindakan yang sangat berlebihan.
Norak!
Mentang-mentang wajahnya cantik!
Puspa toh sadar diri, dia memang tidak secantik Gita. Tapi ayolah, apa gunanya memuji-muji seorang gadis yang bahkan mungkin tidak hafal namamu? Lebay.
Gita memang cantik. Badannya tinggi sedang. Kulitnya putih, rambutnya hitam pekat sepunggung. Matanya seakan-akan selalu bersinar setiap saat, membius siapa saja yang bertatapan langsung dengannya.
Pesonanya kuat sekali.
Dan Puspa akui, ia mungkin nyaris sempurna.
Kini, Puspa menatap sendu pada jajanan titipan ibu. Sudah tiga hari ia membawanya ke dalam kelas. Kantin sekolah tidak lagi menerima titipan karena terlalu banyak. Ya sudahlah, mau bagaimana lagi. Mungkin Puspa harus menyiapkan dalih yang meyakinkan jika ada razia di kelas.
"Puspa! Aku mau beli, dong!". Arin, teman sekelasnya menghampiri Puspa dengan wajah sumringah. Semenjak Puspa berjualan jajanan, ia tak lagi repot-repot membeli jajanan di pinggir jalan untuk sarapan. Efisien!
Beberapa orang lagi mengikuti. Sebenarnya, Puspa berharap mereka merekomendasikan dagangannya kepada teman-teman yang lain, jujur karena Puspa bingung seperti apa caranya promosi. Ia tidak terbiasa menawarkan dagangan pada orang lain.
Jam pelajaran kedua, Puspa izin hendak ke toilet. Ia berpapasan dengan Gita. Terpaksa, ia tersenyum masam menanggapi senyuman Gita yang sangat cerah.
Entahlah, ada sedikit dongkol di hatinya mengingat reaksi Gita yang biasa-biasa saja, bahkan tersenyum ketika digoda oleh teman-teman sekelasnya.
'Cuekin kek, apa kek,' batin Puspa. Tanpa disadarinya, kaki kirinya menginjak tali sepatu sebelah kanan yang terjuntai.
Brukk
Gita menoleh dan terkejut. Refleks, ia mengulurkan tangannya dan membantu Puspa berdiri.
"Eh, nggak apa-apa, kan?" tanyanya dengan raut wajah khawatir. Puspa meringis sembari mengangguk.
"Makasih," ucapnya singkat. Gita tersenyum
"Sama-sama. Euh.. mau kubantu sampai kelas?" tanyanya lagi.
"Nggak, nggak papa kok," Puspa menggeleng kuat-kuat. Ia hanya jatuh, bukan patah tulang. Lagipula, ia yakin akan menjadi bahan perbincangan siswa tengil di kelasnya.
'Kok Gita mau temenan sama dia, sih? Nggak level!'
Mungkin akan begitu.
"Yaudah kalau gitu, aku duluan, ya?" lagi-lagi Gita melempar senyum manis. Puspa hanya membalasnya dengan anggukan.
Setelah mengikat tali sepatunya kembali, Puspa melangkah gontai menuju kelasnya. Ada firasat kurang baik yang ia rasakan.
Beberapa temannya berdiri di depan kelas, berbisik-bisik.
Puspa melongok keadaan di dalam kelas melalui jendela. Ada kerumunan.
"Ada apa?" tanyanya setengah berbisik kepada kedua temannya.
"Razia." jawab salah satunya, singkat. Mata Puspa membelalak. Ia buru-buru masuk ke dalam kelas.
"Puspa Widyawati?"
Puspa terkesiap. Tatapan guru BK itu menghujamnya, menuntut penjelasan.
---
Puspa menyeret langkahnya keluar dari ruang BK. Alibi sekuat apapun, tetap saja berjualan bukanlah hal yang septutnya dilakukan di dalam kelas.
Kepalanya pening.
Sementara Gita menunggu di dekat pintu, sembari mengawasi keadaan sekitar.
"Eh, Puspa," panggilnya ketika melihat Puspa keluar. Puspa hanya mengangkat alisnya. Sejujurnya, ia masih merasa Gita ini terlalu berlebihan.
"Eh.. itu, kamu.. pasti mau cari tempat buat nitipin jualan kamu.., kan?" tanyanya dengan hati-hati. Kedua alis Puspa sempat bertaut sejenak sebelum akhirnya mengangguk.
"Oke. Kamu tau nggak, di tikungan sebelum ke sekolah, ada warung kecil yang masih mau nerima titipan, kok," ujarnya. Puspa menyimak dengan serius.
"Beneran?" tanyanya. Gita mengangguk antusias.
"Deket, kok. Nanti aku kasihtau tempatnya." ujarnya lagi.
" Iya, Git. Nggak papa, kamu kasihtau patokannya aja, biar aku sendiri yang kesana. Oh iya, btw, makasih ya, Git!" jawab Puspa. Gita mengangguk.
Esoknya, Gita membuat pengumuman yang mengejutkan di media sosial dan mading kelas.
'Teman-teman atau kakak-kakak yang mau beli jajanan buat sarapan, bisa beli di ibu aku, ya! Dijamin enak dan murah meriah!'
Puspa sendiri terkejut begitu membaca pengumuman itu. Bahkan Gita sampai 'menjual' nama ibunya demi menarik pelanggan. Sudah diduga, pasti banyak yang membeli. Entah karena Gita, atau karena hal lain.
Tetapi pengumuman itu manjur sekali, karena Puspa dan ibu langsung kebanjiran pesanan lewat warung kecil itu.
Mulai saat itu juga Puspa semakin semangat belajar dan sibuk membantu ibu.
Bertemu Gita untuk sekadar menyapa saja tidak pernah lagi. Ah, ia jadi merasa berutang budi.
Puspa melangkah pelan diantara rombongan siswa yang baru kembali dari membeli jualannya. Ia merasa dirinya saja seperti tak terlihat, bagaimana jika dia yang promosi? Oh, mungkin malah mereka akan kabur semua.
"Eh, Puspa. Yang sibuk, nih," ujar sebuah suara yang amat familiar. Puspa menoleh. Gita!
"Eh, Gita! Makasih banyak ya!" ujar Puspa ceria. Gita mengangguk sambil memberi isyarat diam.
"Oh iya, maaf juga Git, demi promoin jualanku, kamu sampe ngaku kalo itu jualannya ibumu. Wajar sih, mereka mana mau dengerin omongan dari aku yang ga pantes ini.." ujar Puspa setengah berbisik. Gita melongo.
"Aku nggak ngaku-ngaku, Puspa. Memang yang jualan di warung itu, ibuku kok," jawab Gita.
Kedua mata Puspa membelalak.
"Iya, dan aku nggak berpikir sampe kesana sih," Gita tertawa sumbang. "Aku udah capek dinilai orang lain dari tampangku doang. Aku kagum sama kamu, Pa. Kamu rajin, bantuin orang tua. Lagian, sampai kapan, sih, mau-maunya nurutin standar kecantikan ecek-ecek itu?" kali ini Gita berapi-api.
Mereka berdua terdiam.
"..dan.. aku ngerespon mereka pake senyum biar mereka nggak anggap aku sombong," Gita tersenyum miris. Puspa menggaruk pelipisnya yang mendadak gatal.
"Maaf ya, Git, aku.. udah berburuk sangka sama kamu selama ini," ucap Puspa pelan. Gita terkekeh.
"Iya, aku ngerti, kok," ia tersenyum manis.
"Tapi.. aku dapat persenan lebih, ya?" ujarnya sambil menaik-turunkan alis.
Puspa tertawa renyah. Untuk pertama kali dalam hidupnya, ia merasa percaya diri sekali.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar