Kotak berbalut kertas kado berwarna biru itu tergeletak di atas mejaku. Tanpa nama, tanpa tujuan penerima. Tak mau ambil pusing, aku menggesernya ke meja Lala, teman sebangkuku. Dia tidak masuk hari ini.
"Apaan tuh, Ra?" ujar seseorang tepat di belakang telingaku. Aku bergidik, geli. Satu-satunya orang yang begitu hanya Ari. Orang ter-menyebalkan yang pernah kutemui dalam hidupku.
"Tau, tuh," jawabku singkat, padat, dan tidak jelas. Ari menjulurkan tangannya meraih kotak kado itu. Kemudian ia berpindah posisi ke depan mejaku, menghadap kepadaku. Diguncangnya kotak kado berukuran sedang itu.
"Punya siapa, sih?" tanyanya lagi. Aku mengangkat bahu.
"Buatmu kali," ujarnya lagi sambil menimang-nimang kotak itu. Aku beranjak, malas menanggapi. Ari memang sahabat yang perhatian, tapi lebih sering menyebalkan. Jika aku mulai merajuk, dia akan minta maaf sambil cengengesan, berdalih melatih kesabaranku. Manusia yang unik.
"Kemana, Ra?" tanyanya. Aku menunjuk ke arah luar. Lapar.
Setelah mengisi perut dengan seporsi mihun kesukaanku, aku melangkahkan kaki kembali ke bangkuku. Ari ternyata sudah duduk manis di bangku Lala sembari membaca novel. Suatu kebetulan, karena seingatku dia lebih suka membaca komik.
"Ra, buka gih," titahnya saat aku duduk di bangkuku. Ia menyodorkan kotak itu ke arahku.
"Kok jadi kamu yang repot, sih? Kan, belum tentu buatku," sewotku.
"Kan di atas mejamu. Berarti buatmu." kilahnya.
"Yaudah, buka aja. Kan kamu yang ribet dari tadi." balasku ketus. Dia terdiam. Aku meliriknya, kemudian mengalihkan pandanganku. Aneh. Aku merasa, ada sesuatu yang membuatnya memaksaku membuka kado itu.
Sejenak kemudian, aku mendengar suara robekan kertas. Aku menoleh. Ari merobek kertas itu perlahan, dengan ekspresi wajah yang membuatku tidak bisa menahan tawa. Ia mengangkat kepalanya, seulas senyum tipis tersungging disana.
"Ngerobek aja susah banget, sih." gumamku. Aku mengambil alih kado itu dari tangannya. Kemudian hanya ada suara robekan kertas yang mengisi kesunyian diantara kami. Ari sendiri sedang memainkan sisa robekan bungkus kado.
Gerakan tanganku terhenti saat mengetahui isinya. Sebuah buku yang tebal. Ada gambar lima ekor anak kucing yang duduk berdempetan di sampulnya.
"Hmm.. bagus tuh," komentar Ari. Seperti biasa, tiba-tiba. Aku membolak-balik buku itu, membuka acak beberapa halaman. Setiap berjarak lima lembar, ada kata-kata motivasi yang dikutip entah darimana, dan dihias seadanya. Hm..cukup menarik.
"Ada suratnya." ujar Ari. Ia menunjuk sebuah kertas berlipat yang tertindih sikuku.
'This is your weekly journal! Tulis apa aja yang pengin kamu tulis, 7 lembar setiap minggu. Reach your dream to be a writer. Ganbatte!'
Oke, ini adalah sebuah tantangan untukku. Seulas senyum tersungging di bibirku. Challange accepted!
Walaupun sempat penasaran dengan pemberi kado unik itu, aku tetap menjalankan tantangannya. Aku menulis tentang khayalan-khayalan yang terkadang muncul secara acak di benakku. Menyenangkan, sekaligus terkadang melelahkan. Aku harus menyempatkan menulis ditengah padatnya kegiatan yang kuikuti.
Aku masih setengah sadar saat di suatu hari yang mendung, aku mendengar suara kertas yang dibolak-balik. Siapa lagi kalau bukan..
"Ari!" seruku. Aku berusaha menggapai buku yang ada di tangannya. Ari yang notabene lebih tinggi dariku malah mengangkat bukuku tinggi-tinggi. Buku kado itu!
"Apasih, Haura? Kumpulin nyawa dulu sana," ujarnya dengan cengiran usil. Aku memanyunkan bibirku. Ari melengos, pura-pura tidak peduli. Ia melanjutkan membaca isi bukuku. Aku pasrah, terserah dia saja.
"Ada lomba cerpen loh, Ra." ujar Ari memecah kesunyian. Entahlah, teman-teman sekelasku sibuk dengan urusannya masing-masing.
Aku mengangkat kepalaku dari meja. "Ya, terus?" aku menanggapi dengan tidak niat.
"Ikutan, gih. Lumayan tau hadiahnya. Hitung-hitung cari pengalaman juga." jawabnya. "Nih, ada tulisanmu yang temanya sesuai. Tinggal dibaikin dikit lagi."
"Daftarin.." ujarku dengan nada seperti anak kecil yang menginginkan permen.
"Iya, iya. Untung sayang," gerutunya. Aku membelalakkan mata mendengar kalimat terakhirnya.
"Hah, kenapa kenapa?" sahutku. Dia menggeleng, mengatupkan bibirnya.
---
Aku mungkin bukan orang yang istimewa di mata Haura. Tapi aku tahu, dia punya sebuah mimpi yang sangat ingin dia wujudkan. Sebagai sahabatnya yang baik hati dan tidak sombong ini, aku berinisiatif membantunya. Memantau konsistensinya menulis di buku uniknya itu. Mendorongnya ikut lomba, menyemanatinya ketika ia merasa down, kemudian meledek sekaligus memberinya selamat ketika tulisannya terpilih menjadi pemenang. Hal itu terus berulang sampai tiba hari kelulusan kami. Total ada lima buku antologi cerpennya yang telah terbit, dan satu buah novel yang sebentar lagi rampung dan akan dikirimnya ke penerbit. Syukurlah, tinggal selangkah lagi menuju mimpinya yang lebih besar lagi.
"Ri, foto, yuk!" Haura menghampiriku di antara kerumunan manusia. Jilbab berwarna coklat muda membingkai wajah manisnya yang disapu make-up tipis. Tampak..ehm. Menawan.
Aku mengangkat alisku dengan senyum usil. "Tumben." gumamku. Haura menarik ujung jas yang kukenakan. Aku jadi berpikir, apakah setelah ini masih bisa bertemu dengannya lagi, dan menyaksikan mimpinya terwujud satu-persatu?
"Agak kesini, ih," Haura kembali menarik ujung lengan jasku. Aku bergeser sedikit.
Selesai berfoto, Anan, sobatku memanggilku dari kejauhan. Aku baru akan melangkah saat Haura kembali menahanku. Ia tampak kikuk. Lucu, tapi aku ikut berdebar juga.
"Ini..jaga baik-baik." ia menyodorkan sebuah bungkusan kado kepadaku.
"Makasih bukunya. Nanti kalau novelku sudah terbit, jangan lupa beli, ya." katanya malu-malu.
"Insya Allah," jawabku. Ia melambaikan tangannya, lalu beranjak. Aku menghela napas.
Tunggu, darimana dia tahu kalau buku itu dariku?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar